Pada era tahun
1990-an, Pemerintah memberlakukan Program Insentif yang dikenal dengan
Paket Kebijakan Otomotif 1993. Produsen mobil diperbolehkan memilih sendiri
komponen mana yang akan menggunakan produk lokal dan akan mendapatkan potongan
bea masuk, atau bahkan dibebaskan dari bea masuk, jika berhasil mencapai
tingkat kandungan lokal tertentu. Program ini telah dijalankan oleh Toyota
dengan Kijang generasi ketiganya (1986 – 1996) dimana kandungan lokalnya sudah
mencapai 47%. Begitu juga yang dilakukan oleh Indomobil yang mengeluarkan mobil
Mazda MR (Mobil Rakyat). Di tahun 1996 Pemerintah memutuskan untuk mempercepat
Program Insentif dan memperkenalkan Program Mobil Nasional dengan mengatur
bahwa untuk mendapatkan pembebasan bea masuk, perusahaan harus mencapai tingkat
kandungan lokal sebesar 20 persen, 40 persen dan 60 persen di tahun pertama,
kedua dan ketiga. Surat Instruksi Presiden (Inpres) No.2/1996 tentang Program
Mobil Nasional, dikeluarkan untuk memperbaiki sistem deregulasi untuk menyambut
adanya pasar bebas tahun 2003.
PT. Timor Putra
Nasional (TPN) yang bermitra dengan KIA Motors dari Korea Selatan adalah
perusahaan pertama yang mendapatkan pembebasan bea masuk barang mewah melalui
program ini. TPN dipercaya untuk memproduksi mobil nasional yang bernama Timor
(Teknologi Industri Mobil Rakyat). Timor adalah merek mobil yang dipasarkan di Indonesia
yang merupakan versi sama dengan mobil dari Korea Selatan yakni KIA Sephia.
Mobil ini dimaksudkan sebagai mobil nasional Indonesia layaknya Proton di
negara Malaysia. Oleh karenanya, mobil dengan merek Timor dibebaskan dari
pajak-pajak dan bea lainnya yang biasa dikenakan pada mobil-mobil lain yang dijual
di Indonesia. Pada bulan Juni 1996,
Pemerintah kembali mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No.42 yang berisi
tentang diizinkannya TPN mengimpor mobil utuh dari Korea Selatan asalkan mobil
Timor dikerjakan tenaga kerja asal Indonesia di pabrik Kia di Korea Selatan,
serta dalam waktu 3 tahun, TPN harus bisa memenuhi kandungan lokal pada mobil
Timor-nya sebanyak 60%. Varian-varian mobil Timor yang pernah diproduksi antara
lain:
·
Timor S515 1498cc
SOHC Karburator
·
Timor S515i 1498cc
DOHC Injeksi
·
Timor SW516i 1600cc
DOHC Injeksi
·
Timor R Coupe
·
Timor Sport Edition
1600cc Prodrive License
·
Timor SOHC Injection
·
Timor SL516i
Limousine 4-doors & 6-Doors
·
Timor S513/s2 City
Car

Lahirnya mobil Timor sebagai mobil nasional menimbulkan
polemik dan akibat hukum yang sangat besar, khususnya di bidang ekonomi dunia.
Timor memperoleh banyak kemudahan dan perlakuan khusus/istimewa, terutama
masalah pajak. Hal ini terlihat dari sikap pemerintah yang memaksakan untuk
mengeluarkan berbagai peraturan dan kebijakan yang sesungguhnya merusak tatanan
mekanisme pasar. Perusahaan-perusahaan
otomotif lain (Jepang, Amerika Serikat dan Eropa) yang tidak mendapatkan
insentif pajak yang sama, melakukan protes ke World Trade Organization (WTO).
Sebenarnya Inpres itu juga mengatur, siapapun bisa mendapatkan predikat mobil
nasional yaitu bila komponen lokalnya sudah mencapai 60% dengan memakai merek
nasional dan dilakukan oleh perusahaan swasta nasional, bukan kepanjangan
tangan dari prinsipal. Pembebasan pajak barang mewah, selain bea masuk, untuk
kendaraan yang memiliki kandungan lokal 60 persen mendorong produsen untuk
menanamkan modal dalam pabrik-pabrik baru seperti pabrik mesin dan casting,
yang menghasilkan barang setengah jadi. Selain Timor, berkembang juga
merek-merek nasional lain seperti Sena, Morina (Bakrie), Maleo, Perkasa, Kancil
dan Astra. Namun sayangnya keberadaan mereka tak semulus Timor yang dipimpin
oleh Tommy Soeharto.
Timor digugat Jepang
dan Amerika Serikat di WTO dan akhirnya TPN kalah. Perkara dimulai oleh pengaduan
Jepang ke WTO yang bermula dari keluarnya Inpres No. 2 /1996 tentang program
Mobnas yang menunjuk PT Timor Putra Nusantra (TPN) sebagai pionir yang
memproduksi Mobnas. Karena belum dapat memproduksi di dalam negeri, maka
keluarlah Keppres No. 42/1996 yang membolehkan PT TPN mengimpor mobnas yang
kemudian diberi merek "Timor", dalam bentuk jadi atau completely
build-up (CBU) dari Korea Selatan.
Tuduhan Jepang tersebut terdiri atas tiga poin. Pertama,
adanya perlakuan khusus impor mobil dari KIA Motor Korea yang hanya memberi
keuntungan pada satu negara. Misalnya perlakuan bebas tarif masuk barang impor,
yang melanggar pasal 10 peraturan GATT. Kedua, perlakuan bebas
pajak atas barang mewah yang diberikan kepada produsen mobnas selama dua tahun.
Ini melanggar pasal 3 ayat 2 peraturan GATT. Dan ketiga,
menghendaki perimbangan muatan lokal seperti insentif, (1) mengizinkan
pembebasan tarif impor, (2) membebaskan pajak barang mewah di bawah program
mobnas sesuai dengan pelanggaran dalam pasal 3 ayat 1 GATT, dan pasal 3
kesepakatan perdagangan multilateral. Bahkan, dari beberapa kali pertemuan
tingkat menteri, kesepakatan yang ingin dicapai bertolak belakang dengan
keinginan dan cita-cita masing-masing negara. Maka pada 4 Oktober 1996,
Pemerintah Jepang melalui Kementrian Industri dan Perdagangan
Internasional (MITI) resmi mengadukan Indonesia ke WTO yang
didasarkan pasal 22 ayat 1 peraturan GATT. Inti dari pengaduan itu, Pemerintah
Jepang ingin masalah sengketa dagangnya dengan Indonesia diselesaikan sesuai
dengan kesepakatan perdagangan multilateral sesuai dengan aturan yang tercantum
dalam WTO. Ketika itu, jika dalam tempo lima-enam bulan setelah pengaduan ke
WTO belum dapat diselesaikan, maka Jepang akan membawanya ke tingkat yang lebih
tinggi.
Setelah enam bulan tidak ada penyelesaian sejak Jepang
secara resmi mengadukan Indonesia ke WTO, tampaknya, ancaman Jepang bukan
isapan jempol belaka. Jepang bakal membawa masalah Mobnas ke panel WTO pada 30
April melalui pembentukan dispute settlement body (DSB) atau
sidang bulanan badan penyelesaian sengketa. Dengan terbentuknya DSB, maka
Jepang berharap masalah Mobnas dapat dipecahkan dengan jalan terbaik dan adil. Pembentukan
panel dilakukan oleh DSB, setelah upaya penyelesaian mengalami jalan buntu.
Panel yang beranggotakan 3-5 orang inilah yang akan memeriksa pengaduan dan
saksi-saksi. Dan dalam tempo enam bulan, panel akan mengeluarkan rekomendasi
yang akan diserahkan kepada DSB. Di tangan DSB nanti, keputusan hasil panel
akan disahkan satu tahun kemudian.
Namun, Pemerintah Jepang berharap hubungan bilateral
kedua negara tidak terganggu. Dalam hal program mobnas, menyadari keinginan dan
cita-cita Indonesia atas program tersebut. Jepang tidak mengenyampingkan
keinginan tersebut, sepanjang tidak melanggar peraturan GATT dan WTO. Walau
pengaduan telah disampaikan ke WTO, Pemerintah Jepang tetap membuka peluang
melalui jalan bilateral untuk menyelesaikan soal krusial ini. Meskipun, di
badan perdagangan dunia itu, masalah mobnas akan terus melekat dalam agendanya.
Proyek Timor semakin suram ketika krisis ekonomi tahun 1997 datang dan pada
puncaknya ketika rezim Presiden Soeharto jatuh pada bulan Mei 1998. Angka
penjualan mobil juga ikut menurun menjadi 58.000 unit di tahun 1998, jauh
berbeda jika dibandingkan dengan tahun 1997 yang mencatat angka sebesar 392.000
unit.
mantaaapppp postingan nya....... siiiiippp......
BalasHapusKeren banget artikelnya haha. Sejarahnya epic juga.. dari yang cuma semacam tunggangan, sampe kayak sekarang yang punya interior dan eksterior kayak AC mobil, jog, dan karpet mobil yang awet dan bagus banget gini. Kereenn.. thanks yaa artikelnya bermanfaat..
BalasHapus